Flag Counter

header ads

PAHLAWAN PIALA THOMAS 1958 TERKENA STROKE


PAHLAWAN PIALA THOMAS 1958 TERKENA STROKE


JAKARTA - Setelah Njoo Kim Bie meninggal dunia, Senin ( 7/1 ) lalu, tinggal Tan Joe Hok dan Li Po Djian yang tersisa dari tim Indonesia peraih Piala Thomas 1958.

Indonesia meraih Piala Thomas pertama kali dengan mengalahkan juara bertahan Malaya di babak final di Singapura. Saat itu  tim beranggotakan Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin. Lie Po Djian, Tan King Gwan dan Njoo Kim Bie.

Bagi Tan Joe Hok, keberhasilan meraih Piala Thomas untuk pertamakali pada 1958 lalu, merupakan puncak dari usaha yang telah dirintisnya pada tahun - tahun menjelang peristiwa itu. "Saat itu yang menjadi pionir adalah saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian dan Tan King Gwan. Kami merupakan pemain - pemain peringkat puncak kejuaraan nasional saat itu," katanya.

Baru menjelang putaran final, masuk pemain - pemain baru seperti Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf. Kombinasi tujuh pemain ini nyatanya tidak mampu ditandingi pemain - pemain berpengalaman Malaya seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon. Untuk pertama kali Piala Thomas dibawa pulang dan diarak keliling kota Jakarta.

Menurut Tan Joe Hok, Jumat ( 18/1 ) dari anggota the seven magnificent tersebut, hanya tersisa dirinya dan Lie Po Djian. Joe Hok kini telah berusia 70 tahun, sementara Po Djian yang pada 1958 lalu bermain ganda bersama dirinya telah berusia 75 tahun.

Joe Hok dan Po Djian sendiri memiliki hubungan kekerabatan karena kedua isteri mereka merupakan kakak beradik. "Namun isteri saya, Kiok Nio telah meninggal dunia pada 1998 lalu," katanya.

Kondisi Lie Po Djian sendiri sudah sangat memperihatinkan. "Ia sempat terkena stroke dan kini hidupnya tergantung kepada kursi roda. Untuk bicara pun sudah sulit," lanjut Joe Hok.

Joe Hok masih sempat ikut mempertahankan Piala Thomas saat diperebutkan kembali di Jakarta pada 1961. "Saat itu saya  menjadi pemain kunci dalam beberapa pertandingan, sebelum kami mengalahkan Muangthai ( Thailand ) di babak final," katanya.

Namun usai Piala Thomas, Joe Hok mulai berpikir tentang masa depannya. "saat itu saya sudah berusia twenty something dan harus mulai berpikir tentang kehidupan setelah tidak lagi menjadi pemain," katanya.  Karena itulah, sebelum memasuki usia 30, Joe Hok memutuskan menggantung raket.

Menurut Joe Hok dari dulu sampai sekarang tidak ada jaminan buat masa depan seseorang ketika memlih menjadi atlet.  "Pada masa Presiden Soekarno, kami masih  merasa kenal dengan ideologi nasionalisme. Itu saja sudah cukup bagi kami untuk berjuang. Tetapi saat ini,  hal itu kan sudah tidak cukup, atlet kan butuh kepastian buat masa depannya?"

Ketidakpastian itu bahkan juga menghinggapi para pemain bulutangkis. "Jangan bicara Taufik Hidayat-lah, dia pengecualian. Tetapi  coba sekarang siapa yang masih mengenal nama seperti Tri Kusharjanto atau Sigit Budiarto? Padahal mereka kan pemain kelas dunia? Bagaimana dengan pemain yang hanya sampai tingkat SEA games atau PON?"

Menurut Joe Hok, semua pengorbanan saat menjadi pemain tidak akan ada artinya saat prestasi mereka telah surut dan dilupakan publik. "Ketika kerusuhan rasial pada 1958, saya kesulitan mendapatkan tiket untuk keluar menyelamatkan diri dan keluarga. Tetapi siapa yang ingat dengan Joe Hok yang pernah membawa kebanggan pada 1958 dulu?"
Ya, siapa yang masih mau ingat dengan kejayaan dulu?

Post a Comment

0 Comments